Wajah Tuhan Dimata Penyair

Barangkali makna yang tersirat dalam judul ini agak kabur, sehingga sangat mungkin menimbulkan salah tafsir, malahan salah paham. Karena itu judul tersebut perlu dijelaskan.

Semua agama yang berdasarkan monoteisme memiliki prinsip bahwa Tuhan tidak mungkin dilukiskan dengan tepat. Meskipun kesadaran akan adanya Tuhan telah tumbuh dalam diri manusia sejak ribuan tahun yang silam, tetapi oleh kendala kodratnya, baik fisik maupun psikis, sampai saat ini manusia tidak mampu melukiskan Tuhan sebagai sesuatu yang wujudiah. Namun untuk memantapkan keimanan dan praktik-praktik keagamaan Tuhan mesti diwujudkan. Hal ini merupakan tuntutan kondisi eksistensi manusia, karena tanpa adanya wujud manusia tidak menemukan sesuatu. Karena itu dalam filsafat agama sering terjadi hal-hal yang paradoks. Tuhan tak berwujud, namun sering dilukiskan sebagai sesuatu yang berwujud. Misalnya, Tuhan dikatakan Mahatahu, Maha Pengasih, Maha Mendengar, dsb. Dalam gelar atau julukan itu Tuhan seakan-akan berwujud sesuatu dalam bentuk persona. Namun demikian bukan berarti gelar itu merupakan sifat persona, sebagaimana sifat persona manusia. Hal itu hanyalah modus agar Tuhan dapat dijangkau oleh keterbatasan wujud manusia.

Ilustrasi seorang wanita yang sedang membaca puisi, courtesy of Indonesia Mandiri

Orang yang beriman – dalam agama apa pun – senantiasa mengagungkan Tuhan. Karena itu wujud (wujud-gelar) Tuhan selalu berpredikat luhur, yang dalam kebahasaan ditandai dengan kata maha. Dalam setiap agama terdapat bermacam-macam gelar Tuhan. Gelar-gelar ini mengisyaratkan wujud Tuhan di mata manusia yang beriman. Jadi istilah Wajah Tuhan dalam judul tadi tidak lain wujud-gelar Tuhan yang diciptakan oleh manusia dalam konteks agamanya.

Kebesaran dan keluhuran Tuhan yang tersurat dan tersirat dalam agama merupakan sumber penciptaan gelar itu. Hal-hal provan[profan, sic] selalu dihindari, sebaliknya hal-hal kudus, supreme, selalu dikaitkan dengan gelar itu.

II

Sebagaimana umat beragama lainnya demikian pulalah seorang penyair yang beriman melukiskan Tuhannya. Namun di suatu saat penyair sebagai umat beragama terpisah dengan dirinya sendiri sebagai penyair. Dalam keimanan dan ibadahnya seorang penyair mungkin masih menggunakan gelar Tuhan yang terdapat dalam agama yang dianutnya, tetapi dalam kreativitasnya mencipta sebagai penyair ia menciptakan modus-modus khas dan unik dalam memberikan gelar kepada Tuhan. Tanpa menyelami dan memahami dunia kreativitas seorang penyair, orang awam mungkin terkejut dengan cara-cara seorang penyair melukiskan Tuhan.

Perbedaan pokok antara gelar Tuhan yang umum kita jumpai dalam agama dengan gelar yang diciptakan penyair ialah batas daerah penciptaannya. Gelar Tuhan yang terkait dengan agama selalu mengacu dengan hal-hal kudus atau supreme serta dinyatakan secara eksplisit dengan kata istilah. Kata maha merupakan unsur paling dominan dalam hal ini. Sebaliknya penyair sebagai pencipta kreatif tak terikat oleh norma-norma gelar tersebut. Ini bukan berarti seorang penyair tidak menyetujui gelar Tuhan dalam konteks agama yang dianutnya. Ia bukan mengingkari melainkan meluaskan wawasannya dalam usaha mewujudkan Tuhan sebagai Khalik dalam hatinya. Hal ini sangat jelas pula tergambar dalam kebahasaan. Kata maha sebagai penunjuk sifat supreme tidak lagi dipakai. Namun Tuhan sebagai wujud tak terjangkau oleh kemampuan manusia tetap tersirat dalam gelar Tuhan ciptaan seorang penyair.

Betapa pun kebebasan kreativitas penyair dalam mewujudkan Tuhan, gelar-gelar Tuhan ciptaannya itu bukanlah tanpa dasar. Latar belakang dan asasnya dapat dilihat bila kita mengkaji gelar-gelar Tuhan dalam puisi ciptaanya.

Dalam menciptakan gelar Tuhan penyair berorientasi ke dua arah, karena bagaimana pun juga agama yang dianutnya secara langsung atau tidak langsung berpengaruh atas kreativitas penciptaannya. Dalam hal ini segi filsafat lebih memikat perhatian penyair, sebab filsafat memberikan lapangan yang luas dan bebas untuk berimajinasi dan mencari dasar-dasar pokok dalam menciptakan gelar Tuhan. Hal ini sesuai dengan sikap penyair pada umumnya yaitu bersikap bebas dan berpikir ke arah hakikat. Filsafat memberikan jaminan lebih besar dan luas untuk sampai kepada hakikat.

Sesuai dengan salah satu ciri khas kreativitas, yaitu lenyapnya batas-batas yang menimbulkan kendala, maka dalam meniciptakan gelar Tuhan para penyair juga berorientasi kepengalaman pribadinya. Dalam konteks ini tercakup pengalaman faktual dan spiritual, termasuk di dalamnya pengalaman puitik. Dalam ruang lingkup inilah para penyair tiba pada lahan kreativitas yang tak terbatas untuk melukiskan keberadaan Tuhan. Gelar Tuhan diciptakan dengan bebas, kreatif dan unik. Bagi orang awam gelar Tuhan yang tercipta dari pengalaman pribadi seorang penyair mungkin mengejutkan atau dipandang aneh. Hal ini disebabkan karena pandangan orang awam terhadap Tuhan dan gelar-Nya terbatas pada dogma agama yang dianutnya.

III

Keragaman dan keunikan gelar Tuhan yang diciptakan penyair bukanlah persoalan baru atau persoalan sastra modern belaka. Sejak masa Rakawi di zaman kesusastraan istana sampai Sutardji Calzoum Bachri di abad ke-20, gelar Tuhan telah diciptakan secara bebas oleh para penyair.

Para Kawi (penyair) di zaman raja-raja melukiskan Tuhan sebagai Dewa Keindahan yang selalu dirindukan dan dicari. Dalam kesuntukan menikmati keindahan itulah para Kawi merasa bersatu dengan Tuhan. Hal ini dengan jelas diungkapkan oleh Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan (IV : 9 : 203).

Ilustrasi naskah lontar, courtesy of Kompasiana

Dalam praktiknya Dewa Keindahan yang dirindukan dan dicari oleh seorang Kawi (penyair) adalah keindahan alam yang sering dirumuskan dengan istilah Pasir-Ukir (pantai dan pegunungan atau laut dan hutan). Bagi Sang Kawi Tuhan merefleksikan diri-Nya dalam fenomena alam yaitu keindahan.

Percy Bysshe Shelley, seorang penyair Romantik Inggris, dalam puisinya “Ode to the West Wind” secara tersirat mengisyaratkan kebesaran Tuhan dalam fenomena alam.

O wild West Wind, thou breath of
Autum[n]’s being,
Thou, from whose unseen presence
the leaves dead

Pemakaian kata thou (you dalam bentuk hormat kepada Tuhan) dan West Wind dengan W (kapital) merupakan tanda kebahasaan yang mengidentifikasikan adanya nafas ketuhanan di dalamnya. West Wind tak sekedar Angin Barat. Di dalamnya tersirat makna keillahian. Penyair merasakan kebesaran Tuhan berada dalam getaran angin. Karena itu ia dipuja dengan menyebutkan breath of Autumn’s being. Secara implisit West Wind adalah gelar bagi kebesaran Tuhan.

Dari aspek keindahan yang laintuhan mendapat gelar Si Jelita. Dalam gelar ini Tuhan mendapat predikat personifikasi. Penyair mengidentifikasikan dirinya sebagai jejaka sedangkan Si Jelita adalah obyek yang dirindukan dan dikejar-kejar. Hal ini kita jumpai dalam gaguritan “Duh Ratnayu”. Si Ratnayu (Si Jelita) yang dipuji-puji dan dirindukan oleh pengarangnya (penyair) tidak lain Sang Khalik sendiri. Manusia sebagai makhluk yang menyadari adanya dan kebesaran Sang Khalik selalu gelisah siang malam merindukan saat pertemuan dan bersatunya dengan Sang Khalik yang digelari Si Jelita.

Gelar Tuhan yang bersifat duniawi dan personifikasi itu menimbulkan kesangsian masyarakat awam. Pada umumnya pengamat awam menganggap penyair sedang mabuk kepahyang kepada seseorang yang diwujudkan dengan tokoh imajiner.

Ilustrasi sepasang kekasih. Beberapa penyair menggambarkan Tuhan sebagai sosok kekasih yang dirindukan dan didambakan, courtesy of Kumparan

Pada karya-karya Amir Hamzah, penyair religius Indonesia tahun 1930-an, gelar Si Jelita berubah menjadi kekasih. Dibandingkan dengan gelar Sang Dewa Keindahan dan Si Jelita, Kekasih terasa sangat duniawi. Gelar ini tidak saja membayangkan sesuatu yang dipuja, dirindukan dan dicari, tetap telah ada pertautan batin dengan subyek (si penyair). Penyair mengidentifikasikan diri sebagai jejaka yang diamuk asmara karena belum berhasil bersatu dengan kekasihnya. Secara tersirat terasa ada unsur seksual, tetapi tidak mengarah ke hal vulgar. Kerinduan penyair berpantul dalam lukisan yang halus, sepert tersurat pada fragmen puisi berikut :

***
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
***

(“Padamu Jua”)

Ada seorang penyair mistik yang memberikan gelar Lord (Tuan) kepada Tuhan. Dalam hal ini penyair mengidentifikasikan dirinya sebagai abdi yang menghendaki komunikasi dan dialog dengan tuannya. Jarak status tetap dijaga, namun hati dan rasa diharapkan bersatu dalam bentuk dialog yang ramah dan akrab. Dalam salah satu fragmen puisinya yang berjudul “A Prayer” Sri Chaitanya berkata :

***
O, Lord and Soul of the Universe,
Mine is no prayer for wealth or retinue,
The playthings of lust or the toys of fame;
As many time[s] as I may be reborn
Grant me, O Lord, a steadfast love for Thee.
***

Kerinduan penyair yang tersirat tidak terbatas pada kerinduan bertatap muka dalam komunikasi dan dialog, tetapi secara simbolik dan psikis ingin bersatu dengan Tuhan yang dipanggil Lord (Tuan).

Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair Indonesia tahun 1970-an yang memberikan gelar unik kepada Tuhan sebagai Khalik yang dirindukan. Dalam puisi yang berjudul “Kucing” Sutardji mengidentifikasikan gejolak batinnya karena rindu bertemu dengan Tuhan sebagai seekor kucing lapar. Ia menyebut batinnya dengan kucingku. Karena kerinduan batinnya kepada Tuhan adalah seekor kucing lapar, maka Tuhan adalah obyek-mangsa bagi si kucing. Dalam puisi tadi tidak terdapat gelar Tuhan secara khusus. Namun dapat dibayangkan sesuatu yang dapat dijadikan mangsa kucing lapar, seperti dalam puisi berikut :

***
aku pasang perangkap di afrika
aku pasang perangkap di amazone
aku pasang perangkap di riau
aku pasang perangkap di kotakota
siapa tahu nanti ada satu tuhan
yang kena lumayan kita
bisa berbagi sekerat untuk kau
sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah.
***

Dalam puisi tersebut gelar Tuhan disebutkan secara implisit (tersembunyi), tetapi secara imajinasi dapat dibayangkan dengan jelas. Tuhan digelari sesuatu yang dapat diperangkap lalu dikerat dan diberikan kepada seekor kucing. Sejenis apakah itu? Setiap orang dapat membayangkannya sendiri.

Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941), penyair Indonesia yang menggambarkan Tuhan sebagai mangsa seekor kucing, courtesy of Bengkulu Interaktif

Lukisan yang senada tentang kucing lapar sebagai identifikasi batin yang gelisah karena merindukan pertemuan dan persatuan dengan Tuhan, juga terdapat dalam puisi “Amuk”. Di sini pun secara tersirat Tuhan digelari obyek buruan si kucing.

Ketika Sutardji merasakan kreativitas puitiknya mampat ia pun berdoa kepada Tuhan agar kreativitasnya mencair kembali. Dalam imajinasinya alat pencair yang terbaik adalah kapak. Alat ini dapat dipakai untuk menakik sesuatu agar benda yang ditakik itu pecah. Dari takikan itu akan mengucur daerah[darah?] sebagai lambang cairnya kembali kreativitas. Pada puisinya yang berjudul “Doa” Sutardji memberikan gelar kepada Tuhan sesuai dengan imajinasi dan harapannya.

D O A

O Bapak Kapak
beri aku leher-leher panjang
biar kutetak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus;

Tuhan mendapat gelar Bapak Kapak (Raja Kapak) yang sanggup memberikan leher panjang untuk ditetak.

Gelar Tuhan yang diciptakan Sutardji sangat unik dan mengejutkan. Sifatnya sangat duniawi, malahan agak vulgar. Orang yang taklid buta terhadap dogma-dogma agama barangkali akan menampik gelar itu. Lebih jauh gelar itu mungkin dipandang sebagai sesuatu yang provan[sic].

Kalau kita bersabar sejenak dan mencoba menyimak salah satu ayat Bhagawadgita, maka gelar Tuhan ciptaan Sutardji tersebut tidak lagi terlalu mengejutkan. [P]ada saat Kresna memperlihatkan jati-dirinya sebagai perwujudan Tuhan kepada Arjuna, ia berkata :

Di antara penipuan aku adalah judian
di antara yang terindah Aku adalah kemuliaan,
Aku adalah kemenangan; Aku adalah usaha,
Aku adalah kebaikan dari yang terbaik.

(X : 36)

Bait ini dengan jelas menunjukkan gelar Tuhan tidak terbatas pada hal-hal yang mulia dan supreme, tetapi juga hal yang bersifat duniawi, malahan vulgar. Sifat supreme tetap ada, tetapi supreme dalam hal ini dapat berarti tertinggi atau terendah. Demikianlah pada larik pertama dalam superlatif bentuk-bentuk penipuan Tuhan bergelar Judian. Di mata umum judian adalah sesuatu (kegiatan) yang bersifat duniawi, vulgar dan provan[sic]. Namun judian merupakan bentuk tertinggi dari bentuk-bentuk penipuan.

IV

Bila kita tilik gelar-gelar Tuhan yang diciptakan oleh para penyair, tampaknya ada dua faktor yang melatari penciptaan itu. Faktor yang melatari tampak pada bentuk dan sifat gelar itu.

Gelar Tuhan yang berwujud fenomena alam seperti ciptaan para Kawi dan penyair Romatik bersumber pada paham Panteisme. Dengan menggelar Tuhan Dewa Keindahan atau mewujudkan eksistensi-Nya pada fenomena alam, manusia (penyair) mengharapkan tumbuhnya hubungan akrab antara dirinya sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khalik. Hal ini selaras dengan jiwa Panteisme yang menganggap Tuhan meresap ke seluruh semesta.

Para penyair pengelana atau pencipta alam banyak melahirkan gelar Tuhan atau idiom-idiom ketuhanan yang panteistik. Pemujaan gunung, angin, sungai dll. sebagai perwujudan Tuhan bagi para penyair bukanlah pandangan Animisme atau politeisme, melainkan Panteisme. Kerinduan penyair untuk bersatu dengan Tuhan direfleksikan dalam bentuk cinta dan kerinduannya terhadap alam. Wajah Tuhan tergambar dalam fenomena alam.

Pemberian gelar kepada Tuhan dalam bentuk yang sangat akrab dengan manusia bersumber pada paham Sufisme. Batas-batas atau jarak antara Khalik dengan makhluknya dilenyapkan. Gelar Tuhan bersifat duniawi dan sangat akrab dengan manusia. Tuhan sebagai Kekasih, Bapak Kapak, Mangsa Kucing Lapar, Judian, adalah gelar Tuhan yang bersifat sufistik. Gelar-gelar ini tidak lagi memperlihatkan batas antara manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khalik. Namun demikian gelar ini tidak dimaksudkan untuk meprovankan[memprofankan, sic] Tuhan. Manusia (khususnya penyair) hanya berhasrat timbulnya suasana akrab sehingga dapat diciptakan rasa persatuan.

Dapat disimpulkan, Tuhan di mata para penyair dapat berwujud sesuatu (gelar) yang diciptakan secara bebas dan kreatif. Gelar atau julukan Tuhan yang diciptakan oleh para penyair dalam beberapa aspek keluar dari kaidah-kaidah agama yang dianutnya. Namun tujuannya tetap memuliakan Tuhan. Dari keunikan pendekatan kepada Tuhan inilah timbul istilah Agama Sang Kawi (Kalangwan, 1983, hlm. 203-217), atau The Poet’s Religion ([C]reative Unity, 1922, hlm. 3-27). Gejala ini adalah ciri khas sikap penyair yaitu bebas dan kreatif. Dalam kebebasannya itu ia ingin dekat dan bersatu dengan Tuhan. Karena itu Tuhan diwujudkan/diberikan gelar sesuatu yang dekat dengan dirinya. Maka lahirlah aneka gelar dan julukan Tuhan yang tampaknya berada di luar konteks agama, namun bernada ramah dan akrab.

Sumber:
Nyoman Tusthi Eddy. “Wajah Tuhan Dimata Penyair” dalam Warta Hindu Dharma. Nomor 284. Januari 1991. hlm. 8-12, 21.

Satu pemikiran pada “Wajah Tuhan Dimata Penyair

Tinggalkan komentar