Ketika Guru-Guru Indonesia Berhenti Belajar

Ketika saya mengawali karir sebagai guru sejarah dan PKN di sebuah sekolah swasta di wilayah Jimbaran, Badung, Bali, seorang rekan guru nyeletuk ke saya. “Pak Putu bawa banyak sekali buku? Mau jadi profesor, kah?”

Heran dengan pertanyaan tersebut, saya jawab dengan ringan. “Tidak, saya membawa buku-buku ini sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan saya ketika harus mengajar. Terlebih, saya masih belum menguasai materi dan bahan ajar yang harus saya sampaikan kepada siswa. Saya perlu membaca dan terus membaca.”

Mendengar jawaban tersebut, ia berlalu dan kembali duduk di meja kerjanya. Saya, yang masih kebingungan dengan pertanyaan tersebut, berpikir bahwa guru dewasa ini tidak seperti guru pada masa silam.

Sejak 1950-an, para guru aktif berpendapat di media cetak. Mereka tidak hanya pandai mengajar dan mengetahui cara mengajar yang efektif kepada para siswa. Mereka juga punya kemampuan untuk menulis dan berpendapat secara ilmiah, layaknya seorang pengajar di tingkat universitas. Kondisi tersebut, dewasa ini, hampir-hampir tidak pernah saya temukan.

Seorang guru sedang mengajar siswa sekolah dasar, para calon penerus bangsa, courtesy of Tanoto Foundation

Apakah ini berarti guru-guru di Indonesia telah berhenti belajar? Mengutip pendapat Direktur Dasar Tanoto Foundation, Ari Widowati, melalui Kompas.com, ia menyatakan bahwa “kalau guru berhenti belajar, guru berhenti berkreasi, maka selesai sudah pendidikan di Indonesia.”

Pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Jika guru berhenti belajar, setidak-tidaknya belajar untuk mendalami lebih dalam ilmu pengetahuan yang harus ia ajarkan kepada peserta didik, ia akan berhenti menghasilkan karya yang bermutu dan kritis secara keilmuan. Jika kondisi ini terus berlanjut, pendidikan Indonesia bisa dipastikan sudah “tamat”, tidak mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan.

Hal tersebut, setidak-tidaknya, menjadi kenyataan di Indonesia. Guru-guru berhenti belajar. Mereka berpikir, dengan mengandalkan buku paket, mereka sudah cukup menguasai ilmu pengetahuan yang akan ditransfer kepada peserta didik. Kondisi ini, pada akhirnya, menciptakan kemandekan; guru-guru berhenti belajar, peserta didik semakin enggan belajar.

Sebagai guru yang baik dewasa ini, sudah seharusnya guru menumbuhkan kembali minat belajar mereka. Seperti yang diungkapkan Sekretaris Pembina Indonesia Bermutu, Deni Hadiana, melalui Republika, “guru yang sudah berhenti belajar, sebaiknya berhenti mengajar.”

Sudah seharusnya guru menjadi pendorong bagi peserta didik untuk gemar belajar, dan untuk mewujudkan hal tersebut, seorang guru tidak boleh berhenti belajar. Sudah saatnya, guru menjadi pioner yang tidak hanya mengajari orang lain, tetapi juga mengajari diri mereka sendiri dengan ilmu pengetahuan, untuk memperkaya wawasan dan pemahaman akan semesta.

Tinggalkan komentar