Belajar Layaknya Sejarawan: Menjawab Dilema Mengajarkan Sejarah pada Era Teknologi

Dalam tulisan saya terdahulu, saya menyatakan bahwa data literasi dan penggunaan gawai tidak sebanding, membuat pendidikan, terutama pengajaran sejarah, tidak berkembang sesuai kebutuhan zaman. Dilema zaman yang serba canggih ini adalah masalah yang harus segera dipecahkan.

Dalam bagian akhir tulisan tersebut, saya menulis bahwa sejarah di ruang ajar harus “diajarkan layaknya sejarawan belajar sejarah”. Belajar layaknya sejarawan dapat dilakukan dengan melihat dan berfikir sejarah dari sisi sejarawan alih-alih hanya melihat sejarah sebagai peristiwa. Sejarawan diajarkan untuk memiliki kemampuan penalaran dan pemilahan fakta yang disebut sebagai proses intepretasi. Dalam tulisan saya tersebut, saya menyebut ini dengan dengan istilah historical thinking (berfikir menyejarah).

Sekelompok anak sedang mengunjungi museum, courtesy of Timlo.net

Bagaimana cara agar dapat mengajarkan sejarah layaknya sejarawan, terutama pada lingkungan kelas dengan siswa yang kurang minat terhadap literasi? Pada dasarnya berbagai cara dapat ditempuh dengan memenuhi indikator peningkatkan antusias siswa, pendalaman materi, dan transparasi evaluasi pembelajaran.

Jamil Suprihatiningrum, dalam buku Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi, menjelaskan bahwa kedekatan guru pada aspek emosional dan sosial siswa berpengaruh pada situasi kelas yang diampu. Ada tiga cara yang bisa di tempuh pendidik untuk mencapai tujuan ini, yakni 1) menemukan kecocokan metode ajar dengan karakter siswa; 2) meningkatkan minat dan motivasi siswa; dan 3) tercapainya tujuan pembelajaran dengan tanda anak menanyakan pertanyaan sesuai materi.

Pertama, pendidik perlu mempelajari berbagai metode pelajaran yang interaktif. Metode pembelajaran interaktif adalah pembelajaran yang mengikutseratakan murid dalam berargumen dan mencari materi. Pelajaran sejarah seringkali menggunakan metode ceramah satu arah. Marwato Saiman mengkritisi beberapa guru sejarah yang masih mendominasi pembelajaran (teacher-centered). Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan tugas dengan learner-centered, lewat pertanyaan berantai, teka-teki silang, atau studi kasus.

Beberapa siswa SD sedang berdiskusi, membahas sebuah studi kasus, courtesy of SD Juara Bandung

Kedua, metode pembelajaran yang digunakan tidak bisa hanya satu saja dalam satu bab. Robert Gagne mengenalkan cara pembelajaran yang disebut The Condition Learning. Guru bisa menggunakan sembilan atau lebih cara dalam menerangkan isi satu bab. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah melalui media populer.

Putu Prima Cahyadi, dalam artikel berjudul Melihat Anime Sebagai Pintu Masuk Belajar Sejarah, dengan menggunakan produk budaya populer khususnya anime yang dekat dengan kehidupan siswa dewasa bisa menjadi media pembelajaran dengan mengambil detail sejarah yang relevan, seperti beberapa anime yang bertemakan sejarah (historical setting) suatu bangsa, anime yang berlatarbelakang hukum, misteri, atau detektif juga dapat mengajarkan historiografi (proses penulisan sejarah/historical research) dan historical thinking.

Untuk menumbuhkan kemampuan berpikir menyejarah (historical thinking), pengajaran sejarah perlu dikemas layaknya mendidik seorang sejarawan. Diharapkan, mereka mampu melihat sejarah sebagai sebuah kisah dalam konteks ruang dan waktu.
Cukilan gambar video gim “Dynasty Warrior”. Video gim, seperti anime, dapat menjadi pintu masuk bagi siswa untuk mempelajari sejarah, courtesy of LifeIsXbox

Ketiga, kenalkan sumber sejarah yang asli dan otentik dengan pendekatan sebagaimana peneliti sejarah menginterpretasi sumber sejarah. Maksudnya, pendidik sejarah memperkenalkan bagaimana sejarah tersebut ditulis, serta proses pengenalan sumber sejarah tersebut sebagai salah satu prosesnya. Siswa diberikan sumber sejarah yang relevan dengan materi pada penerapan di kelas. Tahap intepretasi kemudian dilakukan dengan pengumpulan informasi dari buku dan referensi lain. Jika dirasa terlalu sulit, siswa bisa melakukan tahap pengelompokan temuan untuk menerangkan isi sumber sejarah tersebut.

Ketiga langkah tersebut merupakan beberapa hal sederhana yang bisa guru praktikan. Ketiga cara ini dapat menghasilan nilai-nilai yang berbeda dalam pengajaran sejarah di ruang ajar tertentu. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD), dibutuhkan sejarah dengan pendekatan estetis. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), sejarah hendaknya dijelaskan dengan pendekatan etis. Terakhir, pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sejarah dititikberatkan pada pendekatan kritis. Pada akhirnya, seorang peserta didik diharapkan dapat berpikir mengenai 5W+1H dari suatu kejadian dan menempatkannya dalam konteks ruang dan waktu.

Bacaan lebih lanjut
[1] Jamil Suprihatiningrum. 2013. Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
[2] Putu Prima Cahyadi. (2022., Desember 10). “Melihat Anime Sebagai Pintu Masuk Belajar Sejarah”. https://monsterjournal.com/melihat-anime-sebagai-pintu-masuk-belajar-sejarah/, diakses pada 9 Februari 2023.
[3] Gagne, R. 1985. The Conditions of Learning (4th Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.
[4] Yusufhadi Miarso. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Pranada Media.

Rose Mariadewi
Surel: rose.mariadewi@gmail.com
Facebook: Rose Mariadewi

Tinggalkan komentar